Sedikit informasi yang saya
dapatkan dari Kang Doni yang pernah ke Kampung Inggris a.k.a Pare, aku pun
nekat kesana. Awalnya aku mengajak teman-teman kampus untuk menghabiskan waktu
libur semester genap di Pare sembari belajar Bahasa Inggris. Namun mendekati
hari H keberangkatan satu persatu teman mundur, dengan beberapa alas an klasik
–tidak dapat izin orang tua –tidak punya cukup uang –sampai tidak mau naik
kereta api ekonomi. Hingga akhirnya aku ke Pare dengan sendirinya.
Jadwal keberangkatan kereta api
pukul 2 siang dari Stasiun Jatinegara – Jakarta Timur. Jujur saja ini juga
pengalaman pertama ku naik kereta api dengan perjalanan yang cukup jauh, selama
ini hanya sebatas kereta api rute Jabodetabek atau paling jauh ke Rangkas
Bitung sewaktu ingin ke Baduy. Pukul 11 siang aku mandi setalah itu makan
siang, sengaja lebih awal karena takut telat. Aku berangkat ke Stasiun dari
Kontrakan Ayuk Nur yang berada di Lampiri – Jakarta Timur dengan menggunkan
Metromini rute Pondok Kelapa – Kampung Melayu yang melewati Stasiun Jatinegara
dengan cukup membayar Rp. 2.000,- (Dua Ribu Rupiah).
Setiba di Stasiun Jatinegara
aku duduk bingung dengan memasang telinga lebih agar tidak ketinggalan
informasi kereta yang akan kutumpangi. Rupa punya rupa kereta Gaya Malang yang
akan ku tumpangi keberangkatannya ditunda 15 menit (Hal yang biasa). Namun
kareta informasi keberangkatan kereta yang molor itulah aku jadi mengetahui
beberapa penumpang yang satu kereta dengan ku.
Salah satunya Ibu yang tak
sempat ku tanyakan namanya, umurnya mungkin lebih dari 60 tahun tujuannya ke
Stasiun Malang. Kasian Ibu tua itu tiket yang dia dapatkan tiket yang tanpa
tempat duduk, karena tidak punya teman maka aku mengajak ibu itu untuk berbagi
kursi dengan ku nantinya di kereta.
Tidak lama kami bercakap-cakap
yang kami tunggu akhirnya tiba juga, orang-orang berdesak-desakan masuk kedalam
gerbong kereta. Begitupun dengan ku, aku juga ikut-ikutan karena kata mereka
kereta berhenti tidak terlalu lama jadi jangan sampai kita ketinggalan kereta.
Setelah masuk kereta, bukan kepalang kereta penuh berdesak-desakan. Saat itu
aku bingung karena gerbong yang aku naiki penuh semua kursi telah ditempati,
untung ada bapak-bapak yang menanyakan tempat dudukku digerbong mana. Hahaah
aku tidak tahu kalau tiket yang ku beli memberikan keterangan dimana nantinya
aku duduk. Setalah ku lihat tiket ternyata aku salah gerbong dan terpaksalah
aku mencari gerbong tempat kursi ku. Cukup menantang untuk melewati orang-orang
yang penuh berdesakan di dalam kereta, ada yang duduk-berdiri,
penumpang-pedagang semua berbaur. Bau-panas-pengap-keringatan-capek-bingung
bercampur aduk.
Hingga akhirnya aku tiba
digerbong yang hendak ku tuju, namun tempat dudukku telah ditempati orang. Ku
cocokan kembali nomor kursi juga nomor gerbong dengan yang ditiket ku. Iya
benar, disini. Hingga akhirnya aku menanyakan “Maaf Pak, Tempat duduknya punya
bapak atau gimana ya? Soalnya ditiket katanya saya duduk ditempat bapak”
sembari senyum rada-rada takut. Ternyata bapak itu hanya numpang duduk saja.
Akhirnya aku menemukan tempat duduk ku J
Kereta sudah laju dengan
kencangnya, suasana kereta masih sama. Tiba-tiba Ibu tua yang ku temui di
Stasiun menegurku. “Di sini rupahnya kamu Nak” “Iya Buk” Jawabku sembari tersenyum.
Ibu meletakkan barang bawaannya kemudian mengambil kertas Koran bekas didalam
tas gendongnya. Kemudian diletakkannya diatas lantai, dudukla dia disana.
Sungguh seketika aku membayangkan jika Ibu itu adalah Ibuku, tak tegah rasanya.
“Buk sini duduk disamping saya, masih bisa kok Buk buat satu orang lagi” oh
iya, jadi tempat duduk ku itu untuk dua orang, namun bisa untuk tiga orang
namun akan berasa tidak nyaman. Kebetulan disamping Bapak-bapak sekitar 50
tahun lebih umurnya, pas aku mengajak Ibu tadi duduk bersama kami, bapak itu
menegor ku. “Dek, ini untuk 2 orang bukan untuk 3 orang” dengan eksperisi muka
yang kurang bagus. “Astaga Pak, kasian Ibu nya”Jawab seorang Ibu yang duduk
dihadapanku (kursi tempatku dua dua kemudian berhadap-hadapan) “Iya kasian Pak”
jawab anak remaja yang disamping Ibu itu. Ternyata dua wanita itu anak dan
istri dari bapak yang duduk disampingku.
Namun bapak itu tetap tidak mau
duduk bertiga. “Sudah bapak duduk disini biar Ibu yang duduk bertiga disana”
celetuk Istrinya. Barulah kemudian bapak itu mau pindah duduk disamping
anaknya, kemudian kami duduk bertiga. Kereta beberapa kali berhenti dibeberapa
Stasiun ada yang naik ada yang turun, suasana kereta semakin berasa unik. Hilir
mudik pedagang membuat kereta tak pernah terasa sunyi, tak hanya pedagang
asongan yang menjajalkan dagangannya dari air mineral, air soda, permen, rokok,
makanan ringan, mie cup, nasi bungkus, sampai ada beberap yang menjajalkan
kebutuhan dapur seperti cabai, bawang dan lainnya. Tidak hanya yang bisa dimakan
yang tak bisa dimakan pun dijajalkan jam tangan, ATK, peralatan dapur,
kosmetik. Semua ditambah lengkap dengan adanya musisi-musisi jalanan yang
terkadang suaranya kurang sedap ditelinga, para hafidz yang melantukan satu dua
surat pendek berkali-kali disetiap gerbong, atau para mereka yang berasa
bermuka garang dengan sengaja hanya meminta-minta, pun dengan mereka para
“petugas kebersihan” yang hilir mudik menyemprotkan pengharum ruangan
kesela-sela penumpang kereta bukannya membuat wangi tetapi malah mebuat udara
makin pengap, ada juga mereka yang mengambil sampah-sampah di kereta karena
penumpang yang tidak tahu diri. Atau mereka yang menjual kekurangan mereka,
dengan mengharapkan ibah. Dari kaki ku menginjak gerbong kereta sampai kakiku
meninggalkan gerbong kereta suasana masih sama. Unik.
Beruntunglah aku saat itu
berada disekeliling orang-orang baik, perjalanan terasa sangat amat manis. Bisa
menyaksikan banyak kenyataan hidup. Membuat diri lebih bisa menghargai sesama.
Perutku pun tak pernah terasa lapar. Ibu-ibu disekitarku selalu memberiku
makanan, mulai dari cemilan, minuman, buah, sampai nasi pun aku mereka
memberiku. Berbagi, ya itulah yang ku rasakan. Makan sore pada saat itu terasa
sangat berkesan, makan dikereta dengan goyang-goyang dalam kerumanan manusia yang hilir-mudik menggantungkan kehidupan
mereka pada besi berjalan tersebut. Menu makan malam itu yaitu ayam tumis yang
dimasak khusus oleh Ayuk Nur untuk bekalku dijalan. Tidak hanya itu ibu-ibu
disampingku juga member ku lauk yang mereka juga bawa dari rumah, sekali lagi
kami “berbagi”.
Sepanjang perjalanan waktu
lebih banyak kami habiskan dengan mengobrol, membahas tentang mau mana dan dari
mana kami, berkat obrolan ini jugalah aku dititipkan ke Mas Mas yang akan turun
ke Stasiun Kediri sama dengan ku, Ibu-ibu memang baik, dia kaget karena aku tak
tahu dimana posisi Pare itu dan ditambah aku tak ada saudara ataupun kenalan
disana, sampai-sampai aku dikasih nomor hp nya, semisal terjadi apa-apa dengan
ku aku bisa menghubungi mereka.
Perjalanan panjang yang
menguras tenaga tapi menyenangkan itu akhirnya berakhir, Stasiun Kediri sudah
didepan Mas yang aku tak tahu namanya itu menghampiriku agar aku bersiap-siap
kedepan pintu. Aku pamitan melanjutkan perjalanan kepada mereka yang sudah bertambah
didepan dan disampingku yang awalnya berempat hingga akhirnya bertujuh setelah
ada Ibu muda yang menggendong anaknya duduk disamping Bapak yang tadinya tidak
mau diganggu akhirnya terketuk juga hatinya. Ada rasa haru kurasakan, tapi
perjalanan masih panjang. Ku segerakan kedepan pintu, nasehat dari mereka terus
diucap “Hati-hati ya Nak” “Jaga diri
baik-baik ya Dek” hingga akhirnya semua hilang dari pendengaranku.
Tak banyak yang turun di
Stasiun Kediri, suasana Stasiun yang masih dini hari masih terasa sepi dan
dingin. Mas yang tadi bersamaku mengajak untuk mampir dulu ke rumahnya baru
besok aku melanjutkan perjalanan. Tapi aku menolaknya, pikirku uangku pas-pasan
dan tak enak menyusahkan orang, akhirnya Ma situ pamitan pulang. Aku kembali
sendiri di Stasiun menunggu pagi. Dinginnya pagi itu menambah rasa kantukku,
aku yang hanya memakai celana pendek akhirnya mengambil sarung yang ada didalam
tas, kemudian tiduran dikursi.
Tak begitula lama aku tiduran,
tiba-tiba ada suara kereta. Orang-orang turun dari kereta , aku kemudian duduk
melihat mereka. Lagi-lagi seorang ibu dengan anaknya kisaranan 10 tahun
mendatangiku untuk meminjam hp ku untuk menelpon orang rumahnya, karena pulsa
hp mereka habis. Setelahnya mereka pergi.
Aku kembali tiduran dikursi. Sembari
tiduran aku mendengar anak-anak muda berbicara berbahasa Inggris dengan
temannya, terus kusimak obrolan mereka. Hingga akhirnya aku bangun “Mbak, mau
Kampung Inggris ya?” kata ku spontan. “Iya, ada apa ya Mas” jawab salah satu
dari mereka. “Oh saya juga ingin ke sana Mbak” hingga akhirnya kuceritakan
kronologis kenapa aku bisa sampai ada di stasiun.
Mereka bertiga pulang dari
liburan di Bandung, salah satu dari mereka yang masih ku ingat namanya yaitu
Kak Tika. Mereka bertiga berasal dari Makassar. Kesepakatan waktu itu yaitu
kami sewa mobil sampai ke camp mereka. Denga biaya Rp. 100.000,- satu mobil
dibagi empat jadi Rp. 25.000,- perorang.
Selama di mobil mereka bertiga
berdiskusi mau dikemanakan nantinya aku, memang setelah ku ceritakan semuanya
mereka langsung mengambil inisiatif untuk menolongku, ku dengar beberapa
obrolan mereka “Iya kalo camp nanti kita suruh dia camp ke Zeal Boy aja. Kan di
Zeal Boy cowoknya keren-keren”.
Sampai disini dulu ya. Nanti
kita lanjutkan gimana kesan-kesan ku pas pertama masuk ke Kampung Inggris - Pare. Kemudian kemana saja mereka mebawaku,
kursus dimana aku, tinggal dimana aku. Nanti kita bahas dicerita selanjutnya.
NB : Aku ke Kampung Inggris
Pare pada liburan kuliah semester genap 2011, aku mencoba mengingat-ingat
kembali moment-moment indah itu.
Jakarta,10
Februari 2015 5:13 PM
Erwan
Aris Syaputra
0 komentar:
Posting Komentar